Siasat Menjegal Trauma Pascabencana – prabowo2024.net

by -74 Views

Trauma bisa terjadi pada setiap korban atau penyintas dari sebuah kejadian bencana. Namun, tidak semua penyintas akan mengalami fase ini.
Palupi Budi Aristya, atau Upi, belakangan ini merasa gelisah. Aktivitas Gunung Merapi yang meningkat menimbulkan rasa takut yang mendalam baginya, lebih dari pada orang lain. Ingatan saat peristiwa besar pada tahun 2010 masih membekas di pikirannya dan sering membuatnya ketakutan. Saat itu, Upi dan keluarganya harus mengungsi menyelamatkan diri dalam suasana yang panik dan mencekam, meninggalkan rumah mereka yang hancur dalam rangkaian letusan terbesar Merapi di masa modern. “Waktu itu saya masih kelas 3 SD. Yang paling membekas ya waktu itu, kejadian sore kita disuruh ngungsi. Alhamdulillah sekeluarga aman semua. Traumanya mungkin lebih karena posisinya panik pascaletusan, mengungsi, dan takut itu keulang lagi,” ungkap Upi kepada Validnews beberapa waktu lalu. Amukan Merapi pada tahun 2010 menyebabkan kerusakan masif. Muntahan lava pijar merusak desa-desa di selatan lereng, sepanjang jalur Kali Gendol di Kecamatan Cangkringan, Sleman, DIY, di mana rumah Upi berada. Saat ini, setelah lebih dari sepuluh tahun berlalu, kenangan itu kembali menghantui Upi. Upi telah pindah ke sebuah rumah baru di wilayah Cangkringan yang masih berjarak sekitar 10 km dari Merapi. Meskipun begitu, dia masih merasa cemas dan takut karena aktivitas gunung meningkat dalam beberapa hari terakhir, dan dia merasa panik setiap kali terdengar suara letusan. Apakah Upi mengalami trauma? “Rasa paniknya ada. Takut itu masih ada, cuma ya normal panik ketika ada letusan lagi,” ucap Upi.

Rasa takut yang dirasakan Upi mudah dimengerti, mengingat pengalamannya berhadapan dengan peristiwa letusan 12 tahun silam. Meski begitu, Upi mampu menjalani kehidupan sehari-hari dengan normal meski ketakutan kadang muncul. Upi agaknya merupakan contoh yang baik sebagai penyintas yang mampu pulih dengan baik dari stres akibat letusan gunung berapi. Lain cerita dengan Aris, penyintas bencana gempa dan tsunami Aceh tahun 2004. Pengalaman yang dialami Aris jauh lebih sulit dan panjang dalam bergelut dengan trauma akibat bencana alam. Ketika tsunami, Aris juga masih kanak-kanak. Namun ingatan itu jelas, tentang bagaimana ia dan keluarganya harus berlari ke puncak bukit, dan menyaksikan kota tersapu gelombang tsunami. Aris dan seluruh keluarganya selamat. Namun rumah mereka di Desa Lhok Kruet, Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya, hancur ditelan gelombang. “Waktu itu, kita stres, karena sering lihat mayat tiap hari, dan trauma dengan laut. Sampai SMP, saya masih takut lihat ombak, takut kalau mati lampu, takut ketika ada gempa. Setelah kejadian itu sering gempa-gempa susulan, itu saya terus menangis,” cerita Aris. Butuh bertahun-tahun bagi Aris untuk pulih dari fase traumatik itu. Salah satu faktor yang membantu adalah pendampingan psikologis yang ia terima dari berbagai relawan dan pendamping di pemulihan pasca-tsunami. Kini, setelah dewasa, ia mengaku sudah kembali berdamai dengan laut dan mampu berkegiatan diving dan snorkeling. Hanya, masih ada satu gejala traumatik pada Aris yang belum hilang, yaitu takut akan ketinggian. Berada di tempat tinggi dan terbuka, selalu membuatnya merasa terancam. Seketika muncul lagi histeria ketika berada di puncak bukit saat kejadian tsunami. “Pas kecil, saya nggak masalah dengan ketinggian. Setelah tsunami, saya takut,” tuturnya. Meski trauma itu masih membekas, Aris bersyukur tetap bisa menjalani kehidupan sehari-hari dengan wajar dan normal.

Trauma, singkatan dari Post Traumatic Stress Disorder, bisa terjadi kepada setiap korban atau penyintas dari suatu kejadian bencana. Namun, tidak semua penyintas akan sampai pada fase tersebut. Kebanyakan penyintas, berkat ketahanan yang baik serta dukungan komunitas, hanya mengalami fase stres sesaat kemudian pulih kembali seiring membaiknya situasi pascabencana. Wahyu Cahyono, seorang praktisi Psikologi Kebencanaan dan pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, menjelaskan bahwa dampak psikologis yang dirasakan setelah kejadian bencana adalah sesuatu yang wajar dan normal dalam situasi tidak normal (bencana). Wahyu menekankan bahwa selama ini penyematan istilah trauma, trauma healing pada upaya-upaya pendampingan korban bencana sebenarnya tidak tepat. Ada prasyarat tertentu untuk menegakkan diagnosa seseorang mengalami trauma. Salah satunya adalah bahwa yang bersangkutan mengalami gejala-gejala minimal selama satu bulan. Korb…

Read more

Source link