Raja Airlangga menjadi raja besar di Tanah Jawa setelah mengembangkan Kerajaan Kahuripan. Sosoknya merupakan trah Mataram Kuno, dari Dinasti Isyana era Raja Mpu Sindok. Saat itu Kerajaan Mataram Kuno memang sudah memindahkan pusat pemerintahannya ke Pulau Jawa bagian timur.
Airlangga merupakan generasi ketiga dari Mpu Sindok. Orang tuanya, Sri Isanatunggawijaya, kemudian menikah dengan Sri Lokapala, yang menghasilkan anak bernama Makutawangsawardhana. Kemudian sosok Sri Makutawangsawardhana ini menikah dengan Dharmmodayana, putra Dinasti Warmadewa dari Bali dan mempunyai tiga orang putra yakni Airlangga, Marakata Pangkaja, dan Anak Wungsu.
Sosoknya tumbuh sebagai remaja di lingkungan kerajaan. Tapi ketika memasuki usia dewasa, Airlangga nyaris tewas saat terjadi pemberontakan dan penyerangan tiba-tiba dari musuh Mataram Kuno. Parahnya Airlangga saat itu tengah melangsungkan pesta pernikahan di ibu kota Mataram Kuno.
Pernikahan Airlangga langsung berantakan begitu adanya serangan dari Wurawuri, sebagaimana dikutip dari buku “Airlangga Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI”. Tak cukup membuat pesta pernikahan Airlangga berantakan saja, serangan itu menghancurkan Mataram kuno.
Istana Mataram kuno luluh lantak oleh sekutu dari Kerajaan Sriwijaya di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur saat ini. Bahkan putrinya dan istri Airlangga dan Dharmawangsa Teguh, meninggal dunia pada kejadian itu. Peristiwa ini disebut sebagai pralaya yang terjadi pada 1016 Masehi.
Beruntung Airlangga berhasil lolos dari maut, ia lolos dari upaya pembunuhan dan melarikan diri ke hutan bersama anak buahnya bernama Narottama. Kisah penyerangan Wurawari ke Mataram Kuno ini dikisahkan pada Prasasti Pucangan berbahasa Jawa kuno.
Saat kejadian itu, Prasasti Pucangan mengisahkan Airlangga masih sangat muda dan belum berpengalaman dalam peperangan, serta menggunakan alat-alat senjata. Tetapi karena penjelmaan Dewa Wisnu, maka ia tidak bisa binasa oleh kekuasaan mahapralaya.