
DN Aidit. (Foto: Ist/Wikipedia)
JAKARTA – Gerakan 30 September 1965 atau G30S PKI yang dilancarkan Dewan Revolusi, gagal total. Dewan Revolusi yang dipimpin Letkol Untung Sutopo gagal menjalankan langkah lanjutan usai menculik sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat (AD) yang disebut Dewan Jenderal.
Sebutan Dewan Jenderal adalah tudingan kepada perwira tinggi AD yang dianggap tidak loyal kepada Presiden Soekarno atau Bung Karno.
Dalam waktu singkat, pasukan RPKAD yang dipimpin Sarwo Edhie Wibowo berhasil membalik keadaan. Sejumlah tempat-tempat strategis, termasuk stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) berhasil direbut kembali. Pasukan RPKAD yang sudah mengepung Halim Perdanakusuma juga dalam posisi siap menyerang.
Melihat situasi yang tidak menguntungkan, Ketua CC Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit buru-buru meninggalkan Jakarta. Ia memutuskan menyelamatkan diri karena Jakarta dianggapnya sudah tidak aman.
Aidit tiba di Yogyakarta pada 2 Oktober 1965. Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih karena bekas ibu kota Republik Indonesia itu merupakan salah satu basis PKI.
Dilansir dari catatan peneliti asing Herbert Feith dalam Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, PKI di Yogyakarta mendapat dukungan suara tertinggi, yakni 237.000 suara.
Selain itu, pada 1 Oktober 1965, yakni sehari setelah peristiwa G30S PKI meletus, muncul demonstrasi massa yang menyatakan mendukung Gerakan 30 September 1965.
Wali Kota Surakarta juga menyatakan sikap yang sama, yakni mengeluarkan pengumuman mendukung Gerakan 30 September 1965. Begitu juga dengan Wakil Gubernur Jawa Tengah yang merupakan simpatisan PKI.
Selama berada di Yogyakarta, Aidit menaruh harapan besar Presiden Soekarno bisa memulihkan situasi. Ia menulis selembar surat yang kemudian dikirimkan kepada Bung Karno.
“Mengusulkan kepada Presiden untuk menyamakan Gerakan 30 September itu dengan Dewan Jenderal. Mempercayakan pemulihan keamanan kepada Front Nasional yang dikuasai oleh mereka yang pro Soekarno dan PKI. Dan mengizinkan organisasi politik, organisasi massa, pers dan radio melanjutkan operasinya seperti pada waktu sebelum terjadinya Gerakan 30 September,” demikian dikutip dari buku The Communist Collapse in Indonesia (1969).