Di sebuah asrama sederhana di pinggiran Kota Bogor, suara lantunan ayat suci Al-Qur’an terdengar lembut. Okta, seorang anak berusia 13 tahun, tengah dengan penuh khusyuk membaca Al-Qur’an. Okta adalah salah satu dari ribuan anak yang telah mendapat kesempatan melalui Program Sekolah Rakyat, inisiatif pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto untuk membuka akses pendidikan bagi anak-anak kurang mampu.
Okta adalah contoh nyata bagaimana program tersebut telah membuka pintu kesempatan bagi anak-anak yang sebelumnya tidak memiliki akses pendidikan. Setelah kehilangan kedua orang tuanya, Okta sempat berhenti sekolah selama dua tahun. Namun, dengan bantuan tetangga dan guru ngaji di kampungnya, ia berhasil bertahan. Sejak diterima di Sekolah Rakyat, Okta mendapat tempat tinggal, makanan, dan perlengkapan belajar secara gratis. Program ini tidak hanya memberikan akses ke mata pelajaran umum, tetapi juga pendidikan agama, bimbingan karakter, dan pelatihan keterampilan.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menyebut Sekolah Rakyat sebagai langkah penting negara untuk memastikan bahwa setiap anak Indonesia mendapatkan kesempatan pendidikan tanpa terkecuali. Program ini telah menjangkau lebih dari 165 lokasi di seluruh Indonesia dan menampung sekitar 16.000 anak dari kelompok ekonomi terbawah. Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa pendidikan adalah hak setiap anak bangsa, dan Sekolah Rakyat hadir untuk memberikan harapan dan masa depan kepada mereka.
Sistem berasrama yang diterapkan oleh Sekolah Rakyat terbukti efektif dalam mengatasi hambatan biaya transportasi dan kebutuhan harian anak-anak. Di asrama, mereka diajarkan nilai-nilai penting seperti hidup mandiri, disiplin, empati sosial, dan gotong royong. Okta sendiri merasa bersyukur bisa kembali sekolah, hafal Al-Qur’an, dan memiliki teman-teman baru. Ia bercita-cita menjadi guru agar bisa membantu anak-anak lain yang mengalami kesulitan dalam pendidikan.
Sekolah Rakyat bukan hanya membangun ruang belajar, tetapi juga membangun semangat anak-anak dan memberikan harapan baru bagi mereka yang sebelumnya merasa putus asa. Dari asrama sederhana tersebut, suara-suara seperti Okta menjadi bukti bahwa pendidikan mampu mengubah nasib asalkan negara hadir untuk mendukung mereka.





